Secara
garis besar, fungsionalisme dilandaskan pada upaya memadukan institusi-institusi
internasional dalam sebuah bentuk kerja sama yang menekankan pada ranah
regional sesuai dengan fungsi dan tugas pokok yang hendak dicapai. Pada
pengembangan lebih lanjut, fungsionalisme membahas mengenai pertumbuhan institusi internasional itu sendiri. Banyak
yang sering mengaitkan fungsionalisme dengan realis. Menurut David Mitrany, fungsionalisme
menjadi pendekatan yang penting di abad ke-20 karena teori kritis menjadi dasar
teori ini. Dalam memahami fungsionalisme, kita harus mengetahui fokus utama
dalam pendekatan ini. Secara fundamental, indikator utamanya bukan pada kerja
sama organisasi internasional semata, melainkan pula mengenai perdamaian dunia.
Fungsionalisme lahir dan berkembang menyikapi pendekatan perdamaian pada state-centric
seperti halnya federalisme dan keamanan secara kolektif.
Berdasar pada
argumentasi Mitrany, federalisme dan kolektifitas keamanan mengalami kegagalan
karena dianggap kurangnya radikalisme didalamnya. Disisi lain, kolektifitas
keamanan melucuti kedaulatan penuh sebuah Negara. Dimana terdapat bias batas
yang dulunya Nampak jelas, kini harus ditoleransi atas dasar kerjasama dalam
usaha serta aktifitas bersama antar wilayah. Kolektifitas keamanan dan
federalisme menjadi gagal karena keduanya justru bekerja melawan poin-poin
kedaulatan yang ada. Serangan terhadap kedaulatan hukum yang meniadakan keutuhan kedaulatan politik pasti akan gagal atau tumbang.
Terdapat beberapa hal ikhwal yang harus diperhatikan. Pertama, kerja
sama terjadi hanya pada fokus wilayahnya yang lebih spesifik serta berorientasi
pada Negara (bersifat regional). Maka tidak atau kurangnya kerja sama jika
berbicara dalam konteks yang jauh lebih luas lagi (non-regional). Kedua, sifat
maupun fungsi dari kerja sama internasional sangat menentukan, terlebih jika
kita berbicara mengenai fungsi atau kedudukan sebuah institusi atau kerja sama
baik secara lokal maupun regional. Hal yang palin sederhana untuk kita mati
adalah mengenai organisasi internasional yang bergerak atu focus terhadap buruh.
Secara fungsional organisasi tersebut hanya fokus pada satu wilayah kerja saja,
yakni mengenai buruh yang sangat spesifik. Disamping itu, isu buruh yang
dihadapi dan ditangani fokus ke lingkup itu saja pada sebuah wilayah tertentu.
Organisasi internasionl yang menangani buruh tidak akan mengurusi isu lain
diluar dari wilayah kerjanya tersebut. Meskipun pada dasarnya kerja sama
internasional melucuti sebagian kedaulatan Negara, namun kerja sama
internasional baik secara institusional maupun organisasional bukan untuk
menciptakan kedaulatan Negara yang baru, jauh lebih besar, dan efektif,
melainkan untuk memperkokoh dua poin penting yang telah disebutkan diatas. Fungsionalisme
mempengaruhi pemikiran yang dikembangkan oleh organisasi kerja sama regional. Dimana
Negara mengalami bias atas batas-batas wilayah negaranya. Aliran pemikiran
fungsionalisme yang dikembangkan Mitrany pada akhirnya memiliki keterkaitan
dengan ide Burton mengenai model masyarakat dunia. Titik temu keduanya misalnya
pada dunia perekonomian secara regional yang memusatkan pada globalisasi.
Fenomena
fungsionalisme mendapatkan respon serius dari kaum realis. Dimana kaum realis
menolak asumsi aktor non-negara yang dijelaskan oleh fungsionalisme. Kaum
realis tetap berargumentasi bahwa aktor utama dalam hubungan internasional
adalah Negara sebagai aktor uniter. Karena menurut kaum realis, kepentingan
Negara selalu menjadi hal utama dan terdepan yang harus dicapai dan tidak
mungkin tergadaikan atas kerja sama internasional, meskipun mengatasnamakan
organisasi kerja sama internasional. Kaum realis berasumsi pula bahwa fungsi
organisasi internasional dalam teori fungsionalisme akan memperlemah posisi
atau kedudukan dan kedaulatan sebuah Negara, sehingga Negara akan kesulitan
mencapai tujuannya. Hal ini terkait erat dengan poin penting dalam
fungsionalisme itu sendiri yaitu kolektifitas dan keamanan bersama yang tidak
mungkin mengesampingkan kepentingan masing-masing Negara.
Kegagalan lain dari
fungsionalisme menurut kaum realis terletak pada proses perjalanan instrument
fungsionalisme itu sendiri. Hal ini berdasar pada fenomena yang terjadi ketika
fungsionalisme tidak dapat menjelaskan dan menangani isu yang bersifat politis.
Karena harus diakui bahwa ketika banyak aktor yang berperan dalam hubungan
internasional, maka akan terjadi ketidakseimbangan tupoksi dan kepentingan.
Hal-hal yang bersifat politis seperti yang ditawarkan realis justru menjadi
senjata ampuh penyelesaian isu dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh
fungsionalisme. Contohnya pada organisasi internasional yang diikuti oleh
beberapa Negara. Determinasi mengenai siapa mendapatkan apa, dimana dan kapan
tidak berlaku sama sekali. Karena semua berprinsip untuk mencapai kepentingan
secara kolektif. Artinya mengedepankan kolektifitas dalam mencapai tujuan
organisasi internasional yang ada. Maka secara fungsional, Negara tidak dapat
berkutik sama sekali. Negara harusnya mencapai jalan apapun demi loyalitas
mencapai tujuannya. Loyalitas menjadi kunci utama sebuah Negara dalam bersikap
diatas kepentingan kolektif. Hal inilah yang menjadi sandungan dalam
fungsionalisme. Terdapat dua pilar utama mengenai loyalitas Negara. Pertama
jika kita berbicara mengenai loyalitas Negara terhadap kontrak psikologisnya.
Kontrak terhadap Negara dengan generasi masa lalu, masa kini dan masa depan
terkait dengan budaya, angka kelahiran, wilayah dan bahasa yang digunakan.
Dimana kesemuanya itu tidak dapat dibiaskan atau berbaur satu sama lain dengan
Negara dan kebudayaan lain. Hal kedua yakni kemampuan Negara memberikan
perlindungan kepada masyarakat dalam negeri sendiri. Pada akhirnya, ambisi
Negara dalam mencapai kepentingan nasionalnya serta dalam memperkuat
kedaulatannya akan menjadi lemah dan tergadaikan oleh fungsionalisme dalam
organisasi kerja sama internasional.
Teori fungsionalisme begitu erat kaitannya dengan Organisasi Kerja Sama Internasional. Hal utama
yang erat kaitannya yaitu mengenai “Dilema Kerja Sama”. Dilemma yang dimaksud
tentunya mengarah pada kedaulatan sebuah Negara. Sederhananya adalah mengenai
pengorbanan oleh Negara untuk menyerahkan sebagian kedaulatannya demi
tercapainya tujuan Negara pada organisasi trans-nasional. Disisi lain, materi
fungsionalisme erat kaitannya dengan landasan utama organisasi internasional
yang menekankan pada kolektifitas anggota, loyalitas terhadap organisasi
trans-nasional yang dibentuk, transparansi kerja untuk mencapai kepentingan
bersama. Teori fungsionalisme menjelaskan pula mengenai aktor-aktor yang
berperan di dalamnya, baik berupa aktor uniter atau Negara maupun aktor non
Negara.
Ketika fungsionalisme berbicara mengenai institusi yang berperan aktif
dalam kerja sama internasional, maka kaum liberal atau teori liberalis yang
menjadi acuannya. Begitu pun jika berbicara mengenai aktor uniter maka teori
realis yang menjadi acuannya pula. Ketika fungsionalisme berbicara mengenai
keuntungan yang didapat Negara karena menjalankan fungsinya dengan baik dalam
sebuah organisasi internasional, maka hal ini berkaitan erat dengan aliran
rasionalis. Begitu pula jika lebih lanjut fungsionalisme membahas mengenai
tujuan bersama yang hendak dicapai oleh beberapa Negara yang berafiliasi dalam
organisasi internasional, maka aliran konstruktif yang menjadi elemen terkait
di dalamnya. Sementara itu, pendekatan fungsionalisme tidak hanya mengfokuskan
pada IGO saja, namun memperbolehkan pula hadirnya INGO. Fungsionalisme berasumsi
bahwa warga dunia berada dalam satu kesatuan fungsional dimana jika tercipta
komunitas dunia maka terjadi pula konektifitas atau korelasi antar Negara,
kelompok-kelompok serta masyarakat.
No comments:
Post a Comment