sekapur sirih

aku adalah aku...
cahaya sekaligus arah bagi kehidupanku...
kematian adalah jalan sesaat menuju keabadian hidup sejati...

Sunday, May 13, 2012

Bioenergi Kreatif di Belanda





Orang yang menginginkan impiannya menjadi kenyataan, harus menjaga diri agar tidak tertidur. (Richard Wheeler)

 
Sebuah negeri kincir angin yang diselimuti hamparan semerbak tulip, itulah asumsi pertama jika kita mendengar cerita tentang Belanda atau Koninkrijk der Nederlanden. Belanda merupakan salah satu Negara monarkial tertua di dunia. Berbicara tentang Belanda, tentunya tidak akan terlepas dari liberalistis masyarakatnya serta seberapa tuanya kreatifitas orang-orang Belanda dalam kehidupan umat manusia. Dari ranah pendidikan sendiri, Belanda menjadi kiblat pendidikan dunia. Hal ini karena banyaknya universitas yang berhasil mencetak para intelektual berkualitas, dan tentunya Belanda menjadi salah satu pusat penyimpanan manuskrip tua terlengkap di dunia.

Jika kita bertanya seberapa kreatif orang Belanda, maka pertanyaan tersebut akan dijawab oleh penghargaan-penghargaan yang jumlahnya berjubel bagi Belanda di segala bidang tentunya. Mulai dari penemuan-penemuan mikroskop optik pertama hingga penemuan rancangan kapal selam pertama oleh ilmuwan Belanda. Belanda dikenal pula sebagai negeri yang cakap merancang bendungan guna memadamkan ganasnya banjir serta pula sebagai salah satu Negara penerima nobel terbanyak. Cerita kecil tersebut jelas menggambarkan seberapa kreatifnya orang Belanda sejak zaman dulu. Namun, dibalik itu semua tentunya ada hal lain yang ingin saya telusuri. Apa hal istimewa yang membuat orang belanda sekreatif itu? Apakah hanya kebetulan ataukah memang ada hal lain dibalik itu semua?

Berangkat dari hal itu pula, maka saya mendapati unsur utama kehidupan masyarakat Belanda yang menjaga ritme kreatifitas mereka, yaitu bioenergi kreatif. Bioenergi yang dimaksud adalah hal yang memotivasi masyarakat Belanda dalam beraktifitas. Bioenergi tersebutlah yang menjadi bahan bakar kreatif masyarakat Belanda selama ini

Bioenergi pertama adalah sikap liberalistik yang tumbuh subur dan terpelihara. Liberalistik Belanda yang disoroti disini terletak pada upaya Belanda itu sendiri dalam membuka ruang seluas-luasnya bagi kemampuan individualistik masyarakatnya, terlebih lagi mengenai apresiasi terhadap hak-hak individu. Tak heran bila seperti Negara maju lainnya, ruang publik untuk berkompetisi dan meningkatkan kapabilitas pribadi menjadi sangat terbuka di Belanda. Bioenergi lainnya yang mengakar kuat yaitu sikap toleransi yang berjalan sinergis dengan liberalistis masyarakat Belanda. Toleransi berkehidupan menjadi cambuk utama masyarakatnya dalam bersosialisasi satu sama lain. Bioenergi selanjutnya bagi masyarakat Belanda yaitu romantisme keluarga. Hangatnya sebuah keluarga memiliki andil yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat belanda. Masyarakat Belanda menyadari akan pentingnya keluarga melalui kultur kekeluargaan yang dibangunnya. Adanya keluarga-keluarga kecil serta peran orang tua yang besar terhadap anak menjadi kultur mengakar di Belanda. Jiwa optimistis dan bekerja keras tak lupa pula menjadi nilai pelengkap bioenergi kreatif masyarakat Belanda. Dengan dua nilai tersebut, kreatifitas orang Belanda tidak perlu dipertanyakan lagi, tentunya dengan kebiasaan seperti itu membuatnya semakin gemilang dalam berkreasi dan meraih prestasi. Oleh karenanya, bioenergi yang didalamnya terkandung nilai-nilai utama kehidupan merupakan bahan bakar kehidupan berharga yang mendorong kreatifitas dan aktualisasi diri masyarakat Belanda.


Belajar dari pengalaman Belanda, teladani dan raih Bioenergimu sendiri !

Sumber foto:
http://www.anvari.org/cols/Blue_Street_in_Netherlands.html

Sunday, December 4, 2011

Sistem Politik Negara Berkembang


Di era Globalisasi seperti sekarang ini, Negara-negara berkembang tengah menjadi sorotan dari seantero dunia. Hal ini tidak terlepas dari fenomena-fenomena apik yang terjadi di Negara berkembang baik berupa pergolakan konstelasi politik maupun ketika mulai bermunculan kekuatan-kekuatan ekonomi baru dari Negara-negara berkembang. Disisi lain, hal-hal yang tersebut sebelumnya merupakan hasil dari sebuah proses panjang maupun proses revolusioner dari Negara-negara berkembang. Jika kita telaah secara mendalam bahwa ternyata Negara-negara berkembang memiliki perbedaan yang cukup signifikan, mulai dari corak dan cita rasa sistem politiknya hingga kondisi penduduknya. Perbedaan sistem politik antara negara satu dengan negara lain, merupakan hal yang wajar dan alami, karena setiap negara memiliki pengalaman sejarah serta pengimplementasian paham yang berbeda-beda. Jika kita tarik benang merah dari setiap Negara berkembang, maka ada beberapa ciri khusus, yakni ideologi yang dianut, sistem politik Negara berkembang, kebijakan ekonomi, karakter kehidupan sosial masyarakat, corak kebudayaan atau kultur, lingkungan alam yang heterogen dengan bangsa-bangsa lain. 

Hal yang menjadi perhatian utama adalah bagaimana bentuk atau corak perbedaan yang melingkupi sistem politik Negara berkembang. Corak sistem politik yang heterogen diantara Negara berkembang meliputi kedudukan kepala Negara dan Kepala pemerintahan, sistem kepartaian (partai tunggal atau dominan dan multi partai), sistem pemilihan umum, mekanisme pengambilan kebijakan, mekanisme supremasi hukum, yang kesemuanya dipengaruhi oleh ideologi yang dianut dan tidak terlepas dari kekhasan atau ciri lain sebagai pembeda. Ciri lain yang membedakan yakni bentuk pemerintahan, bentuk Negara, sistem kabinet, serta bentuk parlemen Negara-negara berkembang. Selain itu, Negara-negara berkembang menganut sistem pemerintahan yang berbeda-beda, seperti demokrasi presidensil, demokrasi parlementer, sistem monarki absolut serta monarki konstitusional. Disamping itu bentuk Negara pun berbeda-beda, ada yang berbentuk Negara federal serta ada pula yang berbentuk Negara kesatuan, dimana hal tersebut disesuaikan dengan kondisi Negara bersangkutan. 

Saturday, December 3, 2011

Negara Berkembang


Jika kita berbicara dalam lingkup ekonomi internasional, ada yang dikenal dengan istilah “negara maju” dan “negara berkembang”. Kedua istilah tersebut merupakan penggolongan negara-negara di dunia berdasarkan kesejahteraan atau kualitas hidup rakyatnya.  

Pada dasarnya, negara berkembang merupakan sebuah istilah untuk mendefinisikan dan mengkategorikan negara-negara di dunia yang memiliki indeks pertumbuhan penduduk (angka kelahiran) relatif tinggi, sarana infrastruktur yang relatif terbelakang, standar hidup relatif rendah, sektor industri relatif kurang berkembang, skor indeks pembangunan manusia atau Human Development Index (HDI) berada pada tingkat menengah ke bawah, serta rendahnya pendapatan perkapita. 

Sebagian besar negara di dunia, yakni sekitar 76% dikategorikan sebagai negara berkembang. Negara-negara tersebut adalah sebagian besar negara di Afrika, Amerika Tengah, dan sebagian negara di Laut Karibia. Termasuk juga negara-negara Arab, serta sebagian besar negara di seantero Asia. Tolak ukur atau indikator dalam penggolongan negara sebagai negara maju atau negara berkembang adalah pendapatan perkapita, jumlah penduduk miskin, tingkat pengangguran, angka kematian bayi dan ibu, serta tingkat buta aksara.

Pendapatan perkapita merupakan indikator terpenting dalam mengukur tingkat kesejahteraan rakyat suatu negara. Sebuah negara dikatakan makmur apabila rakyatnya memiliki pendapatan perkapita yang tinggi. Namun demikian, tingginya pendapatan perkapita bukan penentu kemakmuran suatu negara. Meskipun negara itu pendapatan perkapitanya tinggi, namun jika terjadi perang saudara di dalam negara tersebut, maka tidak dapat disebut sebagai negara makmur atau sejahtera. Karena dengan adanya peperangan banyak menimbulkan kematian, penderitaan, dan rasa tidak aman. Disamping itu, tingkat kesejahteraan rakyat suatu negara dapat dilihat dari angka kemiskinan. Suatu negara dikatakan makmur atau sejahtera apabila rakyatnya yang hidup miskin berjumlah sedikit saja.

Disisi lain, yang menjadi pembeda antara negara maju dan negara berkembang adalah angka kematian bayi dan ibu. Di negara maju umumnya angka kematian bayi dan ibu melahirkan rendah. Hal ini disebabkan penduduk mampu membeli makanan yang bergizi, mampu membeli pelayanan kesehatan dan obatobatan yang memadai. Sebaliknya di negara berkembang angka kematian bayi dan ibu melahirkan relatif tinggi. Hal ini disebabkan penduduk tidak mampu membeli makanan yang bergizi, tidak mampu membeli pelayanan kesehatan dan obat-obatan yang memadai, karena pendapatannya rendah.

Karakteristik atau ciri-ciri negara berkembang secara spesifik dan ringkas adalah sebagai berikut:
Ø  Sebagian besar penduduk (>70%) bekerja di sektor pertanian.
Ø  Sektor industri biasanya berlatarbelakang agraris, terutama memanfaatkan hasil kehutanan, pertanian, dan perikanan
Ø  Pada umumnya aktivitas masyarakat menggunakan sarana dan prasarana tradisional, sebagian besar mengandalkan tenaga kerja manusia
Ø  Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdasarkan pengalaman dan lamban.
Ø  Pendapatan penduduknya relatif rendah.
Ø  Pendidikan penduduknya rata-rata rendah.
Ø  Pendidikan formal tersebar secara tidak merata dengan kualitas yang buruk.
Ø  Angka kelahiran dan kematian penduduknya relatif tinggi.
Ø  Kehidupan penduduknya sangat bergantung pada alam.
Ø  Tingginya angka pengangguran karena besarnya jumlah penduduk dan terbatasnya lapangan pekerjaan.
Ø  Kedudukan dan peran wanita sangat terbatas dan cenderung dipandang sebagai kelas dua.
Ø  Kelebihan jumlah penduduk yang menyebabkan tidak terjangkau atau tidak meratanya kualitas pelayanan sosial dan kesehatan.

Bila kita perhatikan, jumlah negara berkembang masih lebih banyak dari negara maju. Hal ini disebabkan karena dominasi ekonomi dan politik negara maju yang menguasai krang lebih 63% atau sekitar dua per tiga Produk Domestik Bruto dunia. Menurut data Bank Dunia, yang termasuk negara berkembang di kawasan Asia adalah sebagai berikut:

1. Afghanistan       16. Lebanon          
2. Bahrain              17. Malaysia     
3. Bangladesh        18. Mongolia
4. Brunei                19. Nepal                                             
5. Burma                20. Oman
6. Cambodia          21. Pakistan
7. Filipina               22. Qatar
8. India                  23. Saudi Arabia
9. Indonesia           24. Sri Lanka
10. Iran                  25. Syria
11. Iraq                  26. Thailand
12. Jordan              27. Timor Leste
13. Kuwait             28. UAE
14. Korea Utara     29. Vietnam  
15. Laos                 30. Yaman

 Lembaga Eksekutif dan Legislatif pada 3 Orde


a.      Era Orde Lama tahun 1959 – 1966

Secara fundamental, orde lama merupakan sebuah era dimana terlegitimasinya demokrasi terpimpin oleh Soekarno. Dalam hal ini, Presiden memiliki kekuasaan mutlak dan absolut. Kedudukan eksekutif dalam hal ini presiden Soekarno tercermin tanpa batas, bahkan beliau mengangkat dirinya sendiri sebagai Presiden seumur hidup, dengan persetujuan MPR pada fase selanjutnya. Jika kita menilik ke belakang, kekeliruan terbesar yang terjadi pada era Demokrasi Terpimpin Soekarno atau orde lama adalah terjadinya pengingkaran terhadap nilai-nilai demokratisasi, dalam hal ini absolutisme dan terpusatnya kekuasaan hanya pada diri pemimpin atau presiden. Sentralisasi kepemimpinan serta sentralisasi pembangunan menjadi faktor utama penggerak geliat gerakan separatis di daerah. Hal ini barang tentu menjadi cerminan kesenjangan antara pusat dan daerah, utamanya isu yang menyeruak pada saat itu adalah tidak meratanya pembangunan antara jawa dan luar jawa. Disisi lain, tidak ada ruang kontrol sosial serta check and balance dari lembaga legislatif terhadap eksekutif menjadi pertanda wafatnya demokratisasi pada era tersebut.

Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menyatakan bahwa Indonesia kembali kepada UUD 1945. Pada saat itu terdapat 19 fraksi dalam DPR, didominasi oleh PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Berbicara mengenai kondisi parlemen di masa pemerintahan Soekarno, begitu dinamis. Dalam perjalanannya, presiden Soekarno pernah mengeluarkan Penpres No. 3 tahun 1960, dimana presiden membubarkan DPR. Hal ini terjadi karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Setelah pembubaran tersebut, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-Gotong Royong (DPR-GR). Pada saat itu DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. 

Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada presiden pada waktu-waktu tertentu. Kewajiban ini merupakan penyimpangan dari Pasal 5, 20, dan 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat. Dari contoh kasus yang pernah terjadi di era Orde Lama tersebut, maka sangat jelas tercermin ketimpangan implementasi trias politika Montesqiu. Hal yang tidak lumrah ketika lembaga legislative harus bertanggung jawab kepada lembaga eksekutif dan begitu pula sebaliknya jika merujuk dalam sistem pemerintahan yang dianut Indonesia. Kondisi lembaga eksekutif di era Orde Lama tak ubahnya seperti sebuah sistem monarki dimana seakan-akan Soekarno memposisikan dirinya sebagai Raja yang terpatri dalam patron pemimpin besar revolusi dengan lembaga legislative yang lumpuh tak berkutik. Sisi baiknya adalah, sebagai Negara yang baru merdeka, baru berdaulat dan masih menapaki kedigdayaan, Indonesia terhitung berhasil memposisikan diri sebagai Negara besar yang besar pula di mata dunia internasional. Bersama pemimpin-pemimpin revolusionis kala itu seperti Fidel Castro cs, Soekarno membawa Indonesia menjadi Negara yang disegani, dihormati, bahkan ditakuti oleh Amerika Serikat bersama Sekutunya.

b.      Era Orde Baru tahun 1966 – 1998

Orde Baru pada hakikatnya merupakan kristalisasi dari upaya Presiden Soeharto untuk melakukan koreksi terhadap era orde lama. Koreksi yang dimaksud adalah mengembalikan kekultusan Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang justru menjadi pembenaran penguasa. Kondisi lembaga eksekutif di era Orde Baru cenderung mengikuti pendahulunya, meskipun dengan beberapa modifikasi. Meskipun diadakan pemilu dan ragam pola demokratisasi yang sebenarnya hanya rekayasa belaka, tidak membuat Soeharto turun dari tahta penguasa, hal ini menandai tidak adanya rotasi eksekutif di era Orde Baru. 

Rekayasa politik atau seringnya pemerintah mengemas kepemimpinan otoriter ke dalam ruang demokratisasi tampaknya berjalan mulus. Pembatasan partisipasi masyarakat dalam pemilu, pembatasan partai, ideologi tunggal Pancasila dan pembatasan pers jelas menguat di era Orde Baru. Hanya ada 3 partai yang mengikuti pemilu dengan kontrol penuh dari Soeharto bersama ABRI. Dwifungsi ABRI menjadi modifikasi sekaligus suksesi yang tidak sempat terpikirkan oleh pendahulu Soeharto. ABRI layaknya menjadi alat utama lembaga eksekutif saat itu dalam menjaga dan mempertahankan stabilitas keamanan dan pertahanan negara, baik yang bersifat internal negara maupun eksternal negara. Kekuasaan eksekutif menjadi absolut seiring dengan pasifnya legislatif. Pada saat itu lembaga legislatif tak ubahnya seperti lembaga administrasi yang sifatnya formalitas belaka. Tukang cap undang-undang atau lebih kepada fungsi pengesahan semata tanpa ada proses yang lebih sebagai tolak ukur layak tidaknya undang-undang tersebut disahkan atau tidak menjadi julukan lembaga legislatif saat itu. Di era Orde Baru, kita mengenal adanya lembaga tinggi negara dan lembaga negara dibawahnya yaitu MPR sebagai lembaga tinggi negara dan DPR sebagai lembaga negara. 

Lembaga eksekutif di era kepemimpinan Soeharto memiliki peran yang strategis. Hal ini sebagai salah satu upaya Soeharto menjaga stabilitas politik. Selama tiga puluh dua tahun lembaga legislatif mem-backup dan memberi ruang gerak seluas-luasnya kepada Soeharto. Komposisi lembaga legislatif saat itu agak berbeda bahkan cenderung aneh, hal ini terbukti dengan diakomodirnya ABRI dalam komposisi parlemen, dimana ABRI diberikan jatah satu fraksi. Golkar sebagai salah satu motor penggerak Soeharto beserta ABRI didalamnya menjadi settingan terkuat Soeharto selama beliau memimpin. Tak heran jika beliau dapat bertahan lama di kursi penguasa. 

Sama halnya dengan Soekarno, Soeharto menjadi pemimpin yang disegani, dihormati bahkan ditakuti dimata dunia internasional. Sosok yang berjuluk the smiling general ini begitu diperhitungkan karena berhasil membawa Indonesia menjadi salah satu macan Asia dengan perekonomian yang tumbuh tinggi, menguat serta dari segi pertahanan dan keamanan, pengembangan teknologi Indonesia tergolong negara yang maju, karena menjadi pusat pengembangan teknologi alutsista terbesar dan terlengkap di Asia tenggara. Disisi lain, suramnya demokratisasi membuat lembaga eksekutif semakin tidak berdaya dari hari ke hari. Sebagian besar kursi yang ada di DPR diisi oleh kader dari Golkar dan ABRI, belum lagi handay taulan cendana yang mengerubuni parlemen. Membuat kondisi eksekutif dan legislatif menjadi berat sebelah.

c.       Era Reformasi tahun 1998 – Sekarang 

Era Reformasi ditandai dengan turun tahtanya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998. Dalam masa pemerintahan Reformasi dari Habibie, Gusdur, Megawati hingga SBY, nampak jelas arah perubahan yang dinamis dan membaik. Kedudukan eksekutif menjadi setara dengan lembaga-lembaga lainnya yaitu legislatif dan yudikatif. Eksekutif masih memiliki kekuasaan penuh karena menganut sistem presidensil, namun tetap diimbangi oleh lembaga legislatif. Terjadi empat kali amandemen atau perubahan undang-undang dasar 1945 yang menyangkut dwifungsi abri, penegakan HAM dan otonomi daerah. Eksekutif dibantu oleh jajaran menteri diberi ruang yang cukup besar untuk mengelola negara dan memaksimalkan upaya mensejahterakan masyarakat dengan regulasi-regulasi yang berdasar kepada persetujuan DPR. 

Lembaga legislatif kini menjadi tiga lembaga yaitu MPR, DPR dan DPD. MPR tidak lagi menjadi lembaga tinggi negara melainkan setara dengan lembaga lainnya. MPR tidak lagi merumuskan dan menetapkan GBHN karena GBHN telah dihapuskan, mengikut pada program eksekutif terpilih. Anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD. MPR sebagai lembaga legislatif kini tidak lagi memiliki kewenangan super bahkan tidak dapat menjatuhkan atau mencabut mandat Presiden, karena Presiden bertanggung jawab kepada rakyat. MPR terlihat eksis salah satunya hanya pada saat pelantikan Presiden dan wakilnya. DPR sebagai lembaga legislatif di era Reformasi layaknya lembaga tinggi karena segala sesuatu yang akan dilaksanakan oleh pemerintah baik berupa program, kebijakan, regulasi yang bersifat politis harus mendapat persetujuan DPR. 

Fungsi utama DPR ada tiga, yaitu anggaran, pengawasan dan pembuatan regulasi atau undang-undang. DPD idealnya merupakan wakil daerah yang menjadi representasi daerah di Pusat. Namun pada perkembangannya, DPD tidak berfungsi dengan baik, karena menurut struktur dan pola kerja tiga lembaga negara (lembaga legislatif), DPD lah yang kedudukannya paling lemah, karena tidak memiliki fungsi strategis, melainkan sepertinya hanya sebagai peninjau dan pelengkap saja. Anggaran yang dikucurkan kepada DPD ditengarai banyak diselewengkan untuk kepentingan pribadi. Hal yang aneh mengenai kedudukan eksekutif dan legislatif di era Reformasi adalah sistem pemerintahan Indonesia yang sangat dinamis. Sebuah sistem presidensial yang memiliki cita rasa parlementer. Hal ini karena pada beberapa kasus, parlemen atau DPR seringkali menempatkan dirinya seakan-akan dapat menghakimi dan mencabut mandat presiden dengan mosi tidak percayanya. Hal yang sama sekali tidak masuk akal di dalam sistem presidensial. Kewenangan yang melampaui batas inilah seringkali membuat hubungan pemerintah dengan parlemen tidak harmonis.

Collective Security


Collective security merupakan sebuah upaya kerja sama dengan doktrinasi yang mendorong Negara-negara ikut serta dalam usaha perdamaian dunia. Usaha menciptakan perdamaian dunia tersebut diasumsikan melalui kerangka pembentukan institusi global. Dalam hal ini Liga Bangsa-bangsa dan Perserikatan bangsa-bangsa. Liga Bangsa-Bangsa merupakan cikal bakal terbentuknya Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Singkat cerita, LBB dibentuk karena timbulnya kesadaran bahwa perang harus segera diakhiri. Perang Dunia Pertama telah begitu banyak menimbulkan korban jiwa. Korban dari Austria-Hungaria sebanyak 1.250.000 orang, sedangkan koban terbanyak adalah dari Rusia dan Jerman, yaitu 1.750.000 orang, dan masih banyak lagi korban yang tidak terhitung jumlahnya. Namun ternyata LBB tidak seperti yang diharapkan. Meskipun telah disepakati oleh semua negara yang terlibat dalam PD I, LBB ternyata tidak dapat menerapkan sanksinya secara tegas terhadap negara yang melakukan invasi ke negara lainnya. 

Dua kesalahan utama LBB adalah invasi Jepang atas Manchuria (1931) dan invasi Italia atas Ethiopia (1935). Jepang tidak menghiraukan resolusi dengan keluar dari LBB, sedangkan Italia kebal terhadap sanksi yang diterapkan kepadanya. Saat itu juga, LBB mengalami kegagalan awal yang besar, yaitu tidak bisa mencegah negara untuk berperang. Sedangkan kegagalan terbesarnya adalah ketika LBB tidak bisa mencegah perang dalam skala yang lebih besar lagi, yaitu PD II. PD II yang dipicu oleh perilaku agresif Jerman dan Jepang merupakan puncak dari kegagalan LBB. Pada tahun 1939 Jerman mengusai Cekoslovakia dan menyerang Polandia, sehingga memicu reaksi dari Inggris dan Perancis untuk menyerang Jerman. Dan pada tahun 1940, Hitler menyerang Perancis dan Inggris, di sisi lain Jepang menguasasi Indochina. Pada tahun 1941 Hitler menyerang Uni Soviet dan Jepang menyerang Pearl Harbour di Pasifik. Perang demi perang itulah yang akhirnya “melenyapkan” LBB.


Penggantian LBB oleh PBB sebenarnya tidak mempunyai dampak yang signifikan bagi proses perdamaian dunia, dapat diartikan tidak adanya peperangan. Semua itu karena hampir tidak ada perubahan yang mendasar, seperti tidak adanya sanksi yang mengikat dan kepemilikan hak veto oleh beberapa negara superpower. Hal itu tentunya akan menimbulkan peperangan, seperti yang telah terjadi di waktu-waktu sebelumnya.

Adanya PBB tidak serta merta mengurangi perang di dunia ini. Meskipun tidak ada lagi perang besar, namun secara kuantitatif jumlah korban dari perang-perang yang terjadi pasca PD II justru lebih banyak. Uniknya, pasca PD II dan terbentuknya PBB, perang justru terjadi di negara yang memiliki sedikit kekuatan, atau bisa disebut negara dunia ketiga atau negara periphery.

Kegagalan kedua organisasi terletak pada kesalahan perhitungan, bahwa kerjasama atau perdamaian dapat dicapai dengan menciptakan institusi politik dalam skala yang luas, yang secara global. Sejarah mengungkapkan bahwa asal kerjasama dan integrasi adalah melalui proses penaklukan, kerjasama fungsional, dan dibatasi oleh pengaturan khusus (identitas yang sama). Dalam arti yang sederhana, perdamaian dunia dapat terwujud tatkala ada pihak yang besar dengan kekuatan yng besar pula ditakuti oleh Negara-negara kecil yang tidak memiliki kekuatan besar. Maka perdamaian dapat tercipta cenderung karena adanya perasaan takut untuk berperang atau diserang dengan konsekuensi akan di bumihanguskan. Kedua lembaga perdamaian, baik itu LBB pasca PD I dan PBB pasca PD II, sama-sama mengadopsi 2 tradisi yakni proyek perdamaian dunia dan concert of Europe. PBB dianggap gagal dalam menyelesaikan masalah karena adanya pemberian hak veto. Pemberian hak veto tersebut merupakan implementasi dari tradisi concert of Europe itu sendiri.

Keamanan kolektif dapat dipahami sebagai pengaturan keamanan di mana semua negara bekerjasama secara kolektif untuk menyediakan keamanan bagi semua anggota collective security oleh tindakan dari semua anggotanya terhadap setiap negara dalam kelompok-kelompok yang mungkin menantang tatanan yang ada dengan menggunakan kekerasan atau power. Negara berdaulat ingin mempertahankan kedaulatannya, rela bekerja sama, menerima tingkat kerentanan dan dalam beberapa kasus negara kecil, juga menyetujui kepentingan penyelenggaraan negara berkontribusi kepada keamanan kolektif. Keamanan Kolektif dicapai dengan mendirikan organisasi kerjasama internasional, di bawah naungan hukum internasional dan ini menimbulkan suatu bentuk pemerintahan kolektif internasional, meskipun terbatas dalam lingkup dan efektifitas.

Organisasi keamanan kolektif tidak hanya memberikan keamanan lebih murah, tetapi juga mungkin satu-satunya cara praktis keamanan bagi negara-negara yang tergolong lemah. Istilah keamanan kolektif juga telah dikutip sebagai prinsip PBB, dan Liga Bangsa-Bangsa sebelum itu. Dengan menggunakan sebuah sistem keamanan kolektif, PBB berharap untuk membujuk setiap negara anggota dari bertindak dengan cara yang mungkin untuk menciptakan perdamaian sehingga menghindari setiap konflik. Contoh collective security dibawah naungan PBB adalah Dewan Keamanan PBB yang memiliki tupoksi menjaga dan menciptakan perdamaian dunia dengan kebijakan yang mengikat seluruh anggota PBB dibawah konstitusi UN Charter. Dewan Keamanan ini terdiri dari 15 (limabelas) negara anggota, 5 (lima) diantaranya adalah anggota tetap yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Russia, dan China. Anggota tetap ini mempunyai hak untuk memveto putusan yang akan diambil oleh Dewan Keamanan dengan cara menolak dan melawan putusan tersebut. Sepuluh anggota Dewan Keamanan lainnya dipilih oleh Mejelis Umum untuk jangka waktu 2 (dua) tahun keanggotaan yang tidak dapat diperpanjang, di mana 5 (lima) anggota baru dipilih setiap tahunnya. Sepuluh anggota terpilih dimaksud, sebagaimana disebut sebagai anggota tidak tetap dalam Piagam PBB, dipilih berdasarkan formulasi pembagian dari setiap wilayah utama dari seluruh penjuru dunia. Sebagai kunci dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia, Dewan Keamanan mempunyai beberapa fungsi utama. Dewan ini membantu untuk menyelesaikan sengketa secara damai, membentuk dan mengatur pasukan penjaga keamanan PBB, dan mengambil langkah-langkah khusus terhadap negara atau pihak-pihak yang tidak patuh terhadap keputusan DK PBB.

Meskipun ilustrasi di atas menggambarkan bahwa Dewan Keamanan telah melakukan upaya yang sangat baik dalam menjalankan fungsinya, tetapi pada kenyataannya masih terdapat berbagai permasalahan yang telah menyebabkan ketidakefektifan dari fungsi Dewan Keamanan tersebut. Sebagai contoh, pemegang hak veto dari negara anggota tetap mempunyai kekuatan untuk membendung setiap keputusan yang akan berdampak merugikan bagi kepentingan mereka ataupun sekutunya masing-masing; ataupun contoh lainnya bahwa keputusan yang telah diambil, biasanya hanya menjadi “lip service” bagi pengimplementasian berikutnya. Apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia sekarang ini adalah Dewan Keamanan yang dapat melihat permasalahan sejak dini, Dewan yang dapat menghalangi dan mencegah terjadinya serangan antara negara-negara, serta Dewan yang mampu menjadi perantara dalam melaksanakan penyelesaian.